Sunday, April 27, 2014

Artikel : Pihak Sekolah ataukah Siswa yang Salah? Potensi Peran Pendidikan Medis di daerah yang Mengalami Ketidakseimbangan Tenaga Kesehatan di Republik Tanzania

Nama: Ratih Dwi Wulandari
NIM : 13/357536/PKU/14123

ARTIKEL
Pihak Sekolah  ataukah Siswa yang Salah? Potensi
Peran Pendidikan Medis di daerah yang Mengalami Ketidakseimbangan
Tenaga Kesehatan di Republik  Tanzania

Distribusi tenaga kesehatan merupakan masalah klasik yang dialami oleh negara-negara berkembang dan negara dengan kondisi geografis yang sulit. Hal ini dapat mempengaruhi  berbagai indeks kesehatan, terutama angka kematian ibu dan bayi dan berbagai penyakit yang terjadi sehingga  menghambat pelaksanaan tujuan pembangunan di banyak negara berkembang.
Penyediaan tenaga kesehatan khususnya dokter umum bukan hanya mencakup masalah kuantitas, namun juga mencakup distribusi yang merata dan kualitas dokter yang memenuhi standar kompetensi. Agar pemerataan pelayanan kesehatan dapat tercapai, dibutuhkan distribusi dokter yang merata. Sebagian besar dokter lebih memilih memberikan pelayanan kesehatan di kota-kota besar Indonesia. Hal ini menimbulkan dampak pelayanan kesehatan yang tidak optimal karena jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di daerah pedesaan tidak memenuhi standart kebutuhan. Kota-kota besar memiliki banyak tenaga dokter umum sedangkan  daerah-daerah terpencil lain masih mengalami kesulitan dalam pengadaan dokter di daerah tersebut.
Keengganan dokter untuk mau bekerja di daerah pedesaan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pendapatan yang rendah, kondisi yang buruk, beban pekerjaan yang berat, terbatasnya fasilitas atau peralatan penunjang medis. Kekurangan-kekurangan yang ada di daerah pedesaan tidak dapat dengan mudah diperbaiki. Membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar sehingga akan terus terjadi ketidakseimbangan dokter di daerah pedesaan.
Motivasi merupakan hal penting yang dapat menentukan pilihan seorang dokter untuk bekerja di daerah pedesaan. Hal-hal yang melatarbelakangi seorang dokter mau bekerja di daerah pedesaan adalah :
1.         Dokter yang tumbuh di daerah pedesaan. Dokter yang tumbuh di daerah pedesaan memiliki keinginan 4x lebih besar untuk bekerja di daerah pedesaan.
2.         Dokter mendapatkan pendidikan/ pelatihan mengenai kondisi daerah pedesaan
3.         Dokter yang memiliki keluarga yang tinggal di daerah pedesaan. (McDonald J et al,2002)
Dalam hal ini, pihak sekolah kedokteran dapat berperan dalam menentukan kebijakan penerimaan mahasiswa dengan memberi prioritas terhadap calon mahasiswa yang berasal dari daerah pedesaan. Siswa yang berasal daari daerah pedesaan selama ini tidak mampu berkompetensi ketika mengikuti seleksi/ ujian untuk masuk ke sekolah kedokteran dikarenakan standar pendidikan yang berbeda. Padahal, mahasiswa yang diterima di sekolah kedokteran tidak memiliki motivasi untuk bekerja di daerah pedesaan sehingga pada akhirnya mempengaruhi distribusi dokter di daerah pedesaan.
Kurikulum berbasis pedesaan juga merupakan factor yang mempengaruhi pemilihan karir seorang dokter di daerah pedesaan. Sekolah kedokteran yang ada sekarang ini masih kurang memerikan pengetahuan ilmu yang terkait dengan kondisi-kondisi di daerah pedesaan, pendidikan dengan muatan interaksi social serta praktek lapangan di daerah pedesaan.
Bila dilihat dari dua hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pihak sekolah kedokteran memiliki peran penting dalam terwujudnya pemerataan tenaga medis khususnya dokter di daerah-daerah pedesaan. Pihak sekolah kedokteran diharapkan mampu merevisi kebijakan penerimaan calon mahasiswa khususnya untuk calon mahasiswa yang berasal dari daerah pedesaan. Selain itu, pihak sekolah juga harus membuat kurikulum berbasis pedesaan sehinnga nantinya mahasiswa semakin termotivasi dan siap bekerja di daerah pedesaan

Artikel: Task Shifting Vs Profesionalisme SDM Kesehatan Indonesia

Riadi Ardian Yuswanto13/357408/PKU/14106

Service excellent kepada pelangan dalan penyedia layanan kesehatan di Indonesia adalah pekerjaan rumah kita bersama. Banyaknya permasalahan serta kasus buruknya pelayanan kesehatan dari provider milik pemerintah masih belum terselaikan. Peraturan Presiden nimer 72 tahun 2012 menjadi cikal bakal terbentuknya BPJS sebagai salah satu trobosan baru pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan tidak luput dari permasalahan output dari service yang diberikan. Seperti lingkaran setan permasalahan buruknya layanan kesehatan menjadi salah isu kenapa tingkat kesehatan di Indonesia masih jauh dari harapan.

Buruknya layanan kesehatan ditinjau dari Sumber Daya Manusia dapat dikaji dari hal yaitu kualitas, kuantitas serta distribusi tenaga. Menurut Tanahasi untuk mengurangi gap tenaga kesehatan dalam pencapaian Universal Health Coverage dibagi menjadi empat tahapan yaitu Available HRH, Equitably distributed HRH, Quality HRH, dan Performing HRH. Empat tahapan tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainya sehingga untuk mencapai service excellent dengan tujuan capaian target Universal Health Coverage perlu dimulai dari dasar yaitu available HRH dan seterusnya.

Melihat kondisi di Indonesia permasalahan ketersedian tenaga masih terjadi, kesenjangan jumlah tenaga antara daerah Jawa dengan daerah timur Indonesia sangat significant. Jumlah tenaga kesehatan yang dikeluarkan institusi pendidikan belum terserap secara merata di seluruh Indonesia. Namun dengan kurangnya tenaga kesehatan ini tidak boleh mengurnagi kinerja provider dalam memberikan layanan yang terbaik untuk masyarakat.

Profesionalisme kerja menjadi tuntutan dari pemerintah kepada seluruh setiap jajaran tenaga kesehatan dalam pelaksanakan tugas sehari-hari. Profesionalisme sendiri adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang membutuhkan pelatihan yang mendalam baik di bidang seni atau  ilmu pengetahuan dan biasanya lebih mengutamakan kemampuan mental daripada kemampuan fisik, seperti mengajar, ilmu mesin, penulisan, dll). Dari kata profesional tersebut melahirkan arti profesional quality, status, etc yang secara komprehensif memilki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh orang orang yang memilki kemampuan tertentu (Pamudji,1985). 

Salah satu wujud profesionalisme PNS adalah dengan munculnya jenjang jabatan fungsional sebagai tolak ukur standar tenaga dan insentif yang didapat. Pegawai dengan jabatan fungsional yang disandang menunjukkan profesionalisme kerja dan tupoksi yang specific. Dalam hal ini didukung dengan aturan BKN bahwa pekerjaan PNS harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan dan syarat pendidikan tertentu.

Profesionalisme yang diatur dalam kebijakan tersebut membatasi ruang gerak pegawai arena dibatasi dengan tupoksi yang spesifik dan tidak melenceng dari basic pendidikan dan skill pegawai, metode ini cocok dilakukan di wilayanh dimana tenaga sudah terkucupi dimana dalam tahap yang dikemukan Tanahashi pada tahap performing HRH. Kualitas layanan yang didasarkan pada skill dan performa optimal serta professional.

Namun berbeda jika ditinjau di daerah timur Indonesia yang masih kekurangan tenaga, profesionalisme pegawai tidak relevan lagi. Sebagai contoh tenaga kesehatan di suatu desa terpencil hanya ada satu yang berprofesi bidan, jika muncul masalah munculnya endemic demam berdarah sedangankan dokter tidak ada maka jika ditinjau dari profesionalitas bidan, bidan tidak bisa menggantikan dokter dalam menangani masalah pengobatan serta pemeriksaan pasien demam berdarah. Namun ditinjau dari segi kemanusian bidan pun harus ambil bagian dalam penanganan msalah kesehatan tersebut.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Negara-negara berkembang salah satunya adalah penelitian yang berjudul Health "workforce skill mix and task shifting in low income countries: a review of recent evidence" yang dilakukan oleh Futon dkk, Task shifting atau pencampuran kerja perlu dilakukan untuk memberikan layanan kesehatan. Penggabungan skill tenaga kesehatan memberikan dampak significant dalam pemberian layanan kesehatan.

Dimana perbedaan indicator task shifting dan profesionalisme dapat dilihat dari tabel dibawah ini
Dari berbandingan diatas perlu dikaji ulang kebijakan pemerintah Indonesia dalam memprioritaskan profesionalisme kerja dalam kebijakan SDM Kesehatan yang diberlakukan di daerah-daerah yang masih minim tenaga.

1. Tanahashi T. Health service coverage and its evaluation. Bull World Health Organ. 1978;56(2):295-303.
2. Pamudji, 1985, Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta
3. Fulton, B. D., Scheffler, R. M., Sparkes, S. P., Auh, E. Y., Vujicic, M., & Soucat, A. (2011). Health workforce skill mix and task shifting in low income countries: a review of recent evidence. Human Resources for Health, 9(1), 1. doi:10.1186/1478-4491-9-1

Mengapa Kebijakan Pemerintah Belum Bisa Mengatasi Kekurangan Tenaga Kesehatan di Daerah Pedesaan dan Daerah Terpencil dan Perbatasan Kepulauan (DTPK) di Indonesia

Nama: Indah Purnama
Nim   : 13/354334/PKU/13875

Mengapa Kebijakan Pemerintah Belum Bisa Mengatasi Kekurangan Tenaga Kesehatan di Daerah Pedesaan dan Daerah Terpencil dan Perbatasan Kepulauan (DTPK) di Indonesia

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat Indonesia masuk dalam 6 (enam) Negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang kekurangan jumlah tenaga kesehatan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Peran pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang adil dan merata belum bisa terlaksana sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang kesehatan. Kebijakan Pemerintah saat ini belum bisa mendorong tenaga kesehatan untuk melawan teori pasar, Puskesmas dikota memiliki jumlah tenaga kesehatan yang lebih mencukupi dibandingkan Puskesmas yang ada didesa. Sementara pelayanan dibidang kesehatan terus ditingkatkan, jika anggaran tahun 2005 anggaran kesehatan hanya mencapai Rp 7,7 Triliun maka pada tahun 2008 anggaran kesehatan menjadi sekitar Rp 17,9 Triliun. Sebagian dari anggaran kesehatan terus meningkat akan digunakan untuk merekrut tenaga kesehatan baru, yang seharusnya biaya tersebut masih bisa dihemat seandainya tenaga kesehatan tersebut betah dan mau mengabdi sampai pensiun didaerah pedesaan atau DTPK  di Indonesia.
Rekruitmen dan seleksi merupakan proses rangkaian dalam mencari Sumber Daya Manusia Kesehatan untuk mengisi pekerjaan atau posisi tertentu untuk meningkatkan jumlah atau mengganti personil yang hilang atau berkurang dengan metode yang biasa digunakan untuk rekrutmen   dan seleksi tenaga  kesehatan biasanya melalui formasi PNS, kontrak daerah, Kontrak Pusat (PTT) dan Penugasan Khusus. Kebijakan yang selama ini diambil oleh pemerintah untuk mempertahankan tenaga kesehatan didaerah pedesaan atau di daerah terpencil perbatasan dan kepulauan (DTPK) melalui kementerian kesehatan menerapkan beberapa kebijakan diantaranya: 1. Beasiswa untuk meningkatkan tingkat pendidikan (pendidikan bagi dokter spesialis, bidan desa, perawat spesialis atau asisten spesialis dokter), 2. Menghimbau pemerintah daerah untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat untuk meningkatkan fasilitas kesehatan (termasuk peralatan dan  kendaraan) dan perumahan untuk personel kesehatan di daerah terpencil, 3. Kesempatan berkarier. Namun semua kebijakan yang selama ini diterapkan kurang efisien  dikarenakan seleksi dan rekrutmen tenaga kesehatan untuk daerah pedesaan dan DTPK tidak memperhatikan latar belakang asal usul daerah yang bersangkutan sehingga tenaga kesehatan yang bekerja didaerah pedesaan atau DTPK tidak bertahan lama dan banyak yang menjadikannya hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaaan dan setelahnya mengusulkan pindah ke kota atau daerah yang aksesnya lebih terjangkau sehingga desa atau daerah yang terisolir dan DTPK setiap tahun selalu mengalami kekurangan tenaga kesehatan. Sementara itu berbagai sekolah dan akademi kesehatan  khususnya dibidang Keperawatan tetap memproduksi tenaga kesehatan ini dalam jumlah besar tiap tahunnya tetapi mengapa masih ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga kesehatan khususnya perawat.
Sesuai dengan hasil penelitian  "Cost-effectiveness analysis of human resources policy interventions to address the shortage of nurses in rural South Africa" dimana hasil penelitian ini untuk rekrutmen lebih menekankan kepada latar belakang asal usul tenaga kesehatan dengan cara merekrut lebih banyak perawat dari asal-usul pedesaan dan melakukan seleksi dengan cara pemilihan mahasiswa perawat yg berasal dari daerah pedesaan dan lebih tertarik untuk tinggal didesa dan mengabdi di desa atau memberikan akses yang lebih baik untuk pendidikan perawat pedesaan dinilai lebih efisien dan dapat menghemat biaya anggaran pemerintah dalam mengatasi kekurangan tenaga kesehatan khususnya tenaga perawat di puskesmas yang berada di daerah pedesaan atau DTPK. Mengapa pemerintah pusat maupun daerah masih menggunakan metode rekrutmen   dan seleksi tenaga  kesehatan  melalui formasi PNS, kontrak daerah, Kontrak Pusat (PTT) dan Penugasan Khusus tanpa memperhatikan latar belakang asal usul daerah tenaga kesehatan yang bersangkutan padahal dapat mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di pedesaan dan DTPK dengan cara melakukan seleksi dan rekrutmen langsung untuk diangkat menjadi pegawai pada saat tenaga kesehatan tersebut masih menjadi Mahasiswa dengan memperhatikan latar belakang asal usul dan memberikan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan di pedesaan atau DTPK sehingga bersedia mengabdi selamanya di pedesaan dan daerah terpencil lebih efisien dan menghemat anggaran.

Referensi:
Anand, S., & Barnighausen, T. (2004). Human resources and health outcomes: crosscountry econometric study. Lancet, 364(9445), 1603e1609.
Blaauw, D., Erasmus, E., Pagaiya, N., Tangcharoensathein, V., Mullei, K., Mudhune, S.,et al. (2010). Policy interventions that attract nurses to rural areas: a multicountry discrete choice experiment. WHO Bulletin, 88(5), 321e400.
Brooks, R. G., Walsh, M., Mardon, R. E., Lewis, M., & Clawson, A. (2002). The roles of nature and nurture in the recruitment and retention of primary care physicians in rural areas: a review of the literature. Academic Medicine, 77(8), 790e798.
Kurniati, Anna dan  Efendi, Ferry, (2013). Review Sistematis Peningkatan Retensi Tenaga Kesehatan di Daerah Tertinggal. Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan-Kementerian Kesehatan.



6th International Conference on Information Technology and Electrical Engineering. Yogyakarta 7-8 October 2014, http://icitee2014.te.ugm.ac.id. Indexed by IEEEXplore.

REKRUTMEN DAN RETENSI TENAGA KESEHATAN DI DAERAH PEDESAAN DAN TERPENCIL

Kesetaraan merupakan hal yang wajib diperjuangkan pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang didalam Unang-Undang Dasar  1945 untuk menciptakan keadilan sosial, demikian pula dengan kesetaraan kesehatan khususnya bagi komunitas yang rentan dan kurang beruntung. Memastikan masyarakat yang hidup di daerah tertinggal dan terpencil memiliki akses terhadap tenaga kesehatan yang kompeten merupakan tantangan yang besar.
Dari berbagai sumber data yang ada menunjukkan bahwa jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih kurang. Indonesia harus berjuang keras untuk meningkatkan jenis, jumlah dan mutu tenaga kesehatan. Selain itu masalah maldistribusi dan ketidakseimbangan geografis juga semakin memperbesar tantangan tersebut. Mendistribusikan dan menempatkan tenaga kesehatan di daerah tertinggal dengan kuantitas dan kualitas yang memadai menjadi hal kritis dalam pemberian pelayanan kesehatan. Kondisi ini diperparah pula oleh rendahnya retensi tenaga kesehatan untuk mengabdi di daerah tersebut. Daerah tertinggal nampaknya masih belum diminati oleh para tenaga kesehatan untuk bekerja disana. Diakui atau tidak, permasalahan distribusi tenaga kesehatan merupakan permasalahan klasik yang tidak hanya terjadi di negara kita. Negara maju dan berkembang lainnya juga menghadapi permasalahan serupa dengan tingkat permasalahan yang berbeda. Ketidakseimbangan distribusi harus dicari solusi terbaiknya dengan tetap berpihak pada komunitas marginal yang lebih memerlukan.
Mapping tenaga kesehatan dan non kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta serta seberapa besarnya keterlibatan pemda dan organisasi profesi dalam penempatan tenaga kesehatan di daerah sangat diperlukan. Informasi penempatan tenaga kesehatan termasuk kepada institusi pendidikan tentang daerah penempatan yang kurang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran penempatan tenaga kesehatan. Informasi ini penting untuk mengetahui kebutuhan tenaga kesehatan yang sesungguhnya di berbagai daerah mengingat ketersediaan tenaga kesehatan tersebut merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi.
Selain dari segi kuantitas, kualitas tenaga kesehatannya juga masih kurang yang ditunjukkan dengan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan kurangnya kompetensi lulusan yang dihasilkan insitusi pendidikan untuk bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Diklat juga sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan teknis/fungsional yang terakreditasi. Optimalisasi pengembangan kemampuan tenaga kesehatan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap memperhatikan kesesuaian dengan kondisi daerah juga menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan.
Permasalahan lain dalam sumber daya manusia kesehatan Indonesia adalah belum adanya regulasi yang melibatkan pihak terkait untuk lulusan institusi pendidikan agar kembali ke daerah, rendahnya pemanfaatan program beasiswa pendidikan bagi tenaga kesehatan, retensi tenaga kesehatan yang rendah, belum optimalnya insentif  termasuk insentif non material misal: dalam memperoleh peningkatan kapasitas dan kemudahan birokrasi, belum konsistennya dalam pemberian reward dan punishment bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan, belum adanya tunjangan sertifikasi tenaga kesehatan seperti tenaga pendidikan, belum adanya tunjangan resiko kerja bagi tenaga kesehatan dan tenaga yang bekerja di daerah tertinggal dan terpencil, double job bagi tenaga kesehatan dengan tugas lainnya diluar tupoksi fungsional.


Beberapa solusi yang mungkin bisa untuk mengatasi permasalahan tadi adalah:    
1.        Pengadaan Formasi jumlah dan jenis ketenagaan ( tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan) melibatkan BKD, Dinkes, Dikti dan memperhatikan analisis beban kerja institusi
2.        Rekrutmen PNS  dengan formasi khusus untuk tenaga kesehatan di daerah terpencil dan tertinggal
3.        Peningkatan pemerataan dalam distribusi tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan secara proporsional
4.        Masa tugas minimal 3 tahun dengan rotasi berdasarkan kinerja
5.        Kontribusi daerah dalam melakukan mapping tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan dengan melibatkan organisasi profesi perlu dioptimalkan
6.        Pengusulan kebutuhan tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan secara berjenjang dari kabupaten/kota hingga pusat
7.        Pengusulan tunjangan sertifikasi bagi tenaga kesehatan
8.        Optimalisasi pemberian insentif bagi tenaga kesehatan baik material (sertifikasi tenaga kesehatan) ataupun non material
9.        Peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
10.    Studi banding, Seminar/Workshop
Pengawasan agar kuantitas dan kualitas tenaga tetap terjaga sangat diperlukan antara lain dengan registrasi dan sertifikasi tenaga kesehatan yang melibatkan organisasi profesi secara periodik. Sistem reward dan punishment sangat perlu dikembangkan serta Optimalisasi  peran Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dalam rangka implementasi penilaian kinerja pegawai (PKP). Keselarasan kebijakan pusat dan daerah dalam perencanaan hingga pengelolaan sumber daya manusia kesehatan mutlak diperlukan.





Referensi :

Bourke, L. et al., 2012. Understanding rural and remote health: A framework for analysis in Australia. Health and Place, 18, pp.496–503.
Campbell, N., McAllister, L. & Eley, D., 2012. The influence of motivation in recruitment and retention of rural and remote allied health professionals: a literature review. Rural and remote health, 12, p.1900. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22845190.
Daniels, Z.M. et al., 2007. Factors in recruiting and retaining health professionals for rural practice. The Journal of rural health : official journal of the American Rural Health Association and the National Rural Health Care Association, 23(1), pp.62–71.
Doherty, J.E. et al., 2013. Transforming rural health systems through clinical academic leadership: lessons from South Africa. Rural and remote health, 13, p.2618.
Dolea, C., Stormont, L. & Braichet, J.-M., 2010. Evaluated strategies to increase attraction and retention of health workers in remote and rural areas. Bulletin of the World Health Organization, 88(5), pp.379–385.
Dorsch, J.L., 2000. Information needs of rural health professionals: a review of the literature. Bulletin of the Medical Library Association, 88, pp.346–354.
Ebuehi, O.M. & Campbell, P.C., 2011. Attraction and retention of qualified health workers to rural areas in Nigeria: a case study of four LGAs in Ogun State, Nigeria. Rural and remote health, 11, p.1515.
Efendi, F., 2012. Health worker recruitment and deployment in remote areas of Indonesia. Rural and remote health, 12, p.2008. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22670640.
Farmer, J. & Kilpatrick, S., 2009. Are rural health professionals also social entrepreneurs? Social Science and Medicine, 69, pp.1651–1658.
Fisher, K.A. & Fraser, J.D., 2010. Rural health career pathways: research themes in recruitment and retention. Australian health review : a publication of the Australian Hospital Association, 34(3), pp.292–296.
Frehywot, S. et al., 2010. Compulsory service programmes for recruiting health workers in remote and rural areas: do they work? Bulletin of the World Health Organization, 88(5), pp.364–370.
Grobler, L. et al., 2009. Interventions for increasing the proportion of health professionals practising in rural and other underserved areas. Cochrane database of systematic reviews (Online), (1), p.CD005314.
Jones, A.R., Cook, T.M. & Wang, J., 2011. Rural-urban differences in stigma against depression and agreement with health professionals about treatment. Journal of Affective Disorders, 134(1-3), pp.145–150.
Keane, S., Lincoln, M. & Smith, T., 2012. Retention of allied health professionals in rural New South Wales: a thematic analysis of focus group discussions. BMC health services research, 12, p.175. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3479013&tool=pmcentrez&rendertype=abstract.
Kolstad, J.R., 2011. How to make rural jobs more attractive to health workers. Findings from a discrete choice experiment in Tanzania. Health economics, 20(2), pp.196–211.
Kurniati, Anna dan  Efendi, Ferry, 2013. Review Sistematis Peningkatan Retensi Tenaga Kesehatan di Daerah Tertinggal. Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan-Kementerian Kesehatan.
Lehmann, U., Dieleman, M. & Martineau, T., 2008. Staffing remote rural areas in middle- and low-income countries: a literature review of attraction and retention. BMC health services research, 8, p.19.
Leipert, B. & Anderson, E., 2012. Rural nursing education: a photovoice perspective. Rural and remote health, 12(January), p.2061. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22668083.
McAuliffe, T. & Barnett, F., 2009. Factors influencing occupational therapy students' perceptions of rural and remote practice. Rural and Remote Health, 9(1), p.1078.
Morell, Anna L et all. 2014. Attraction, recruitment and distribution of health professionals in rural and remote Australia: early results of the Rural Health Professionals Program. Health Workforce Australia. Human Resources for Health.
Mugisha, J.F., 2009. Using information and communication technology to revitalise continuing professional development for rural health professionals: evidence from a pilot project. Rural and remote health, 9(4), p.1222. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19891518.
Muula, A.S. & Maseko, F.C., 2006. How are health professionals earning their living in Malawi? BMC health services research, 6, p.97.







Oleh : Khusnunah Harkanti
NIM  : 13/357949/PKU/14199

Tuga Paper Artikel Strengthening management and leadership practices to increase health-service delivery in Kenya: an evidence-based approach


MENGENALI SOSOK DAN KEKUATANNYA DIBALIK KEBERHASILAN PELAYANAN KESEHATAN

           

      Perubahan lingkungan dan tekhnologi yang cepat meningkatkan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh organisasi, tak terkecuali organisasi kesehatan. Hal ini memunculkan kebutuhan organisasi kesehatan terhadap seorang sosok yang dapat mengarahkan dan mengembangkan usaha-usaha tenaga kerjanya baik teknis maupun non teknis  dengan kekuasaan yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi dalam membangun organisasi menuju high performance organization. Dalam hal ini tujuan organisasi kesehatan adalah memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal kepada masyarakat dengan sistem "Health Excellent Service " .

Pelayanan merupakan suatu aktivitas atau serangkaian alat yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba), yang terjadi akibat interaksi antara konsumen dengan tenaga kerja atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan persoalan konsumen. Dalam pelayanan kesehatan mencakup semua pelayanan yang bertumpu pada diagnosis suatu penyakit dan perlakuan yang harus diberikan , atau sistem promosi, perawatan dan kuratif kesehatan. Hal ini mencakup pelayanan kesehatan yang bersifat personal dan non personal (VanVactor, 2012)

Seperti yang dikatakan diatas, sasaran pelayanan kesehatan adalah memberikan pelayanan kesehatan prima kepada masyarakat.  Suatu pelayanan yang didambakan oleh masyarakat terutama pasien baik meliputi rasa nyaman, rasa aman dan keyakinan bahwa dia mendapatkan pelayanan kesehatan dari the best knowledge, the best skill, and efforts pembeli jasa kesehatan. Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan prima tersebut, salah satu komponen pentingnya adalah Tenaga kesehatan teknis dan non teknis.

Tenaga kesehatan teknis memang memegang peranan penting dalam suatu pelayanan kesehatan. Kemampuan mereka dalam menjalankan tugas dan keberhasilan terhadap kesembuhan pasien digunakan sebagai tolak ukur kinerja mereka, maka tak jarang berbagai upaya peningkatan kompetensi mereka pun dilakukan, salah satunya dengan memberikan insentif yang sesuai, reward, dan pemberian kesempatan karir berupa beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pun diberikan oleh pemerintah.

Namun tanpa disadari dibalik semua keberhasilan pelayanan kesehatan, selain tenaga kesehatan yang berperan, terdapat sesosok yang sangat berperan dalam mencapai keberhasilan tersbut. Sosok tersebut tidak lain adalah manajer yang merupakan orang yang bertanggung jawab untuk mengarahkan usaha yang bertujuan membantu organisasi kesehatan untuk mencapai sasarannya.

Manajer yang efektif akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, tidak hanya ditunjukkan dari kekuasaan yang dimiliki tetapi juga ditunjukkan pula oleh perhatian manajer terhadap kesejahteraan dan kepuasan tenaga kerja terhadap manajer dan peningkatan kualitas tenaga kerja, terutama sikap mengayomi yang ditunjukkan untuk menguatkan kemauan tenaga kerja dalam melaksanakan tugas guna mencapai sasaran organisasi.

            Tiga peranan manajer yang sangat penting, yaitu sebagai pengambil keputusan ( desicion making ) yang terdiri dari pengusaha/pelopor/pendobrak, pengentas kendala, pengalokasi sumber daya dan perunding, sebagai Information Proscesing yang terdiri dari pengawas, penyebar berita dan juru bicara dan sebagai interpersonal yang terdiri dari panutan, pimpinan dan penghubung(Robbins & Judge, 2008), membuat manajer mau tidak mau mengemban suatu tanggung jawab yang sangat besar terhadap organisasi. Jika diibaratkan berada di sebuah kapal pesiar, manajer adalah seorang nahkoda yang harus mengendalikan kemana arah kapal tersebut akan melaju, manajer harus mampu bekerja sama yang baik dengan para awak kapal dan sebaliknya.

            Belum lagi lima fungsi manajer yang harus dijalankannya, mulai dari perencanaan( planning ) , perorganisasian ( organizing ), penyusunan staff ( stafing ), penggerakan ( actuacting ) dan pengawasan ( controlling ) membuat seorang manajer harus memiliki kemampuan yang kompleks dan lengkap dibandingkan dengan tenaga kerja. Manajer bagaikan otak dari suatu organisasi, tak terkecuali organisasi kesehatan. Dimana dengan adanya manajer yang baik dari segi kinerja dan karakter, juga kemampuan yang handal dan berpengalaman, mampu beradaptasi dengan lingkungan luar dan dunia, tidak perlu diragukan sebuah organisasi kesehatan akan berhasil dalam pelayanan kesehatan.

            Bagi tenaga kerja teknis, pengembangan sangatlah penting untuk meningkatkan kemampuan teknis tentang pekerjaannya. Para tenaga kerja teknis dapat memahami dan mengenal baik tentang pekerjaannya sehingga akan meningkatkan kepuasaannya dan berakibat pada peningkatan pelayanan kesehatan. Para manajer juga memandang hal yang sama, pengembangan bagi dirinya akan menambah wawasan dan pengetahuan serta keterampilan manajer dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin. Pekerjaan manajer tidak terbatas hanya pada satu bagian tertentu saja, melainkan saling terkait antara  satu pekerjaan dengan pekerjaan lain dan berkesinambungan. Seorang eksekutif harus dapat mengetahui dan memahami tentang banyak hal dalam organisasi terutama tugas – tugas yang berkaitan dengan kepentingan dalam dan luar organisasi . Walaupun secara fungsional, tugas manajer adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan, namun dalam prakteknya tugas – tugas itu harus dikaitkan dengan keadaan dan cukup tersedianya sumber daya manusia. (Bangun, 2012)

            Pengembangan Manajer seringkali kurang mendapatkan perhatian yang maksimal, berbeda halnya dengan pengembangan dan kesempatan tenaga kerja teknis yang notabene hampir setiap tahun diprogramkan oleh suatu organisasi dan pemerintah. Bahkan tak segan – segan memberikan beasiswa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih guna meningkatkan kompetensi mereka. Hal ini sangat berbeda jauh dengan pengembangan manajer, yang sangat jarang mendapatkan suatu kesempatan ataupun reward berupa beasiswa untuk mengembangkan kompetensinya. Padahal jika ditilik lebih jauh lagi, peranan dan fungsi manajer lebih penting dibandingkan tenaga kerja teknis, karena memiliki ruang lingkup yang lebih luas.

            Pentingnya pengembangan dan pelatihan manajer ini bukanlah suatu isapan jempol belaka. Telah dibuktikan dengan penelitian "Strengthening management and leadership practices to increase health-service delivery in Kenya: an evidence-based approach" yang dilaksanakan di beberapa kabupaten dan provinsi di kenya. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan adanya intervensi yang dirancang untuk memperkuat kepemimpinan dan ketrampilan pelatihan kepimpinan seorang manajer, menghasilkan perubahan positif dalam hasil pelayanan kesehatan serta memberikan kontribusi terhadap peningkatan pelayanan kesehatan. (Seims et al., 2012)

            Pelatihan dan pengembangan kepemimpinan menjadi salah satu bekal yang harus diberikan pada seorang manajer. Pengembangan bagi para manjaer diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya dalam memimpin. Pengembangan manajer memerlukan kombinasi antara berbagai variabel pengalaman, ketrampilan dan pendidikan secara khusus untuk meningkatkan pelayanannya atas organisasi. Metode pengembangan dapat dipilih dan diterapkan mulai dari on the job management development techniques ( job rotation – action learning) hingga off the job management development techniques ( case study – in house development centers ).

            Melihat kenyataan dan hasil penelitian diatas, maka hendaknya pemberian kesempatan terdapat pengembangan seorang manajer perlu dibuka dengan lebar, tanpa disadari kekuatan kepimpinan yang baik akan berdampak baik terhadap kinerja tenaga kesehatan dan meningkatnya kinerja tenaga kerja akan menghasilkan dampak positif bagi pelayanan kesehatan sehingga bisa mewujudkan impian masyarakat Indonesia untuk mendapatkan " health excellent service "

             

Daftar Pustaka :

Bangun, W. P. D. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. (T. Perti, Ed.). Bandung: Penerbit Erlangga.

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku Organisasi (Edisi duab.). Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Seims, L. R. K., Alegre, J., Murei, L., Bragar, J., Thatte, N., Kibunga, P., & Cheburet, S. (2012). Strengthening management and leadership practices to increase health-service delivery in Kenya: an evidence-based approach. Human Resources for Health. doi:10.1186/1478-4491-10-25

VanVactor, J. D. (2012). Collaborative leadership model in the management of health care. Journal of Business Research, 65(4), 555–561. doi:10.1016/j.jbusres.2011.02.021



Yunita Fransiska

13/357468/PKU/14115


TUGAS PAPER : PROGRAM FIELD EPIDEMIOLOGY TRAINING PROGRAMMES (FETPs) DI NEGARA BERKEMBANG : MENGAPA BELUM EFEKTIF DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS TENAGA SURVEILANS ?

A.  Latar Belakang
Program Field Epidemiology Training Programmes (FETPs) atau Epidemiologi Lapangan sudah dilaksanakan di 57 negara di seluruh dunia. Program ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tenaga surveilans dan  difokuskan terutama di negara berkembang. Peningkatkan kapasitas tenaga surveilans tersebut diharapkan akan berdampak pada penurunan angka kejadian penyakit menular di negara berkembang. Program ini didanai oleh Kementerian Kesehatan setempat, lembaga nasional maupun internasional, dan Non Govermental Organization (NGO) (Kandun dkk, 2010).
Setiap tahunnya pemerintah maupun lembaga donor mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk penyelenggaraan program FETPs. Namun yang terjadi dilapangan, angka kejadian penyakit menular masih tinggi terutama di negara berkembang. Penyakit menular tersebut antara lain HIV/AIDS, malaria dan tuberculosis (TB) (Pattel dan Phillips, 2009). Menurut data dari WHO (2012), di negara-negara Asia Tenggara contohnya, angka prevalensi penyakit HIV/AIDS sebesar 0,3%, angka kejadian penyakit malaria yang dilaporkan sebesar 2.149.205 dan angka prevalensi penyakit TB sebesar 278/ 100.000 populasi. Hal ini menjadi suatu tantangan besar untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya agar dana yang dikeluarkan untuk program FETPs tersebut tidak sia-sia. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa sistem pembelajaran pada program FETPs yang diterapkan di negara berkembang tersebut belum efektif dalam meningkatkan kapasitas tenaga surveilans. Program tersebut masih bersifat University-based yang berbasis pendidikan formal di universitas. Hal inilah yang kemudian diduga menyebabkan lemahnya kapasitas dari tenaga surveilans dalam kegiatan surveilans penyakit menular dan sistem respon (Matovu dkk, 2013). University-based tidak disesuaikan dengan masalah yang ditemukan di lapangan dan lebih kepada aturan yang diterapkan global di seluruh dunia. Menurut Patel dan Phillips (2009) sistem pembelajaran program FETPs yang cocok digunakan di negara- negara berkembang adalah field-based training yang berbasis kondisi nyata di lapangan/ tempat bekerja.
B.     Perbedaan Sistem Pembelajaran University-Based dengan Sistem Pembelajaran Field-based Training.
Sistem pembelajaran university-based berbeda dengan sistem pembelajaran field-based training. Sistem pembelajaran university-based memiliki banyak kelemahan jika dibandingkan dengan field-based training. Perbedaan tersebut antara lain dilihat dari berbagai macam aspek, antara lain:
1.      Model pembelajaran
Program FETPs sudah dilaksanakan di banyak negara berkembang dengan berbasis pendidikan formal di universitas (University-based) dan ditempuh selama 2 tahun dengan gelar Master of Public Health (MPH) (Subramanian, Herrera dan Kelly, 2013). Sistem pembelajaran lebih banyak dilakukan di kelas. Adapun kelemahan dari sistem pembelajaran ini adalah : Teori yang diberikan terlalu banyak, sehingga menyebabkan kebosanan dari peserta dan waktu yang digunakan di lapangan menjadi berkurang, cenderung menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat yang umum dan bukan dikhususkan pada penyakit menular yang menjadi fokus utama di negara berkembang. Berbeda dengan university-based, pada sistem pembelajaran field-based training, teori hanya diberikan selama 3 bulan dengan cara tatap muka di kelas dan selebihnya peserta kembali ke tempat kerja/ lapangan.  Peserta lebih banyak bersentuhan dengan dunia nyata di lapangan dengan pendekatan learning by doing dan problem solving. Pendekatan tersebut melatih peserta untuk menyelesaikan suatu masalah yang ditemukan dilapangan. Sistem pembelajaran ini lebih cenderung berbasis kejuruan daripada pendidikan professional dan lebih dikhususkan kepada pemberantasan penyakit menular. Inilah yang menjadi kelebihan field-based training (Pattel & Phillips, 2009)
2.      Kurikulum
Kurikulum pada sistem pembelajaran university-based sering terhambat oleh standar fakultas dan banyak intervensi dari negara-negara lain yang tidak sesuai dengan konteks di negara berkembang. Sebaliknya pada field-based training, kurikulum selalu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan selalu direvisi dengan melibatkan mentor dari daerah dan  organisasi profesi yang langsung terjun ke lapangan (Mukanga, 2010).
3.      Pengajar/ Mentor
Di negara berkembang banyak ditemukan masalah di bidang Sumber Daya Manusia (SDM). Pada sistem pembelajaran university-based, keterbatasan SDM yang memahami tentang kondisi nyata di lapangan dilakukan dengan merekrut pengajar dari negara lain. Hal ini akan menyebabkan hambatan bagi peserta karena selain pengajar luar tidak memahami konteks di negara tersebut juga seringkali mereka menggunakan bahasa asing yang tidak mudah dipahami oleh peserta (Pattel dan Phillips 2009).
Menurut Matovu dkk (2013) sistem pembelajaran field-based training lebih banyak melibatkan supervisor dari lapangan/ tempat kerja peserta, sehingga mereka tidak hanya berfungsi sebagai role model, tetapi juga dapat memberikan saran, umpan balik dan dukungan yang menyeluruh kepada para peserta selama proses berlangsung. Hal ini akan memperkecil hambatan-hambatan yang akan diterima oleh peserta.
4.      Biaya
Biaya yang dikeluarkan cenderung besar pada sistem pembelajaran university-based, karena selama pembelajaran di kelas , peserta tidak mendapat gaji di tempat kerja, sehingga pemerintah masih mengeluarkan biaya untuk membayar peserta. Sedangkan pada sistem pembelajaran  field-based training, biaya yang dikeluarkan pemerintah cenderung rendah karena selama di tempat kerja mereka sudah mendapatakan gaji. Hal ini dapat menghemat biaya pengeluaran Negara (Pattel dan Phillips 2009).
5.      Koordinasi dan Responsiveness
Proses pembelajaran yang dilakukan di kelas terlalu banyak pada sistem pembelajaran university-based, hal ini menyebabkan  kesulitan untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah apabila terjadi suatu wabah dan cenderung tidak responsif hanya kearah pendokumentasian semata. Sedangkan pada sistem pembelajaran field-based training, koordinasi dengan daerah lebih mudah dan responsif dalam penanganan suatu wabah, karena dari awal hingga akhir pelatihan, peserta lebih banyak terjun ke lapangan (Pattel dan Phillips 2009)
6.      Brain drain/ Migrasi Lulusan ke Luar Negeri
Pada university-based, migrasi lulusan ke luar negeri cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena dari awal peserta kurang berkontak dengan lapangan dan tidak adanya pengawasan serta dukungan yang kuat dari tim supervisor daerah. Berbeda dengan field-based training dimana tingkat migrasi lulusan ke luar negeri cenderung rendah, karena peserta sudah sangat memahami kondisi awal di lapangan dan didukung kuat oleh tim supervisor daerah (Matovu dkk, 2013).
C.     Kesimpulan
Field-based training lebih efektif dan efisien apabila diterapkan di negara berkembang dalam upaya peningkatan kapasitas tenaga surveilans. Hal ini diharapkan dapat berdampak pada peningkatan sistem surveilans dan sistem respon. Kelebihan dari sistem pembelajaran field-based training adalah :
1.      Model pembelajaran yang berbasis kondisi nyata di lapangan/ tempat kerja, menggunakan pendekatan learning by doing dan problem solving.
2.      Kurikulum pada sistem pembelajaran ini selalu berubah dan beradaptasi disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan tidak terhambat oleh aturan di universitas.
3.      Pengajar berasal dari SDM yang berada di lapangan yang dapat dijadikan sebagai role model, dapat memberikan saran, umpan balik kepada peserta selama proses pembelajaran berlangsung.
4.      Peserta lebih banyak di tempat kerja dan mendapatkan gaji, hal ini dapat menghemat pengeluaran biaya pemerintah.
5.      Koordinasi dengan daerah lebih mudah dan peserta lebih responsif dalam menangani wabah penyakit.
6.      Tingkat migrasi lulusan ke luar negeri cenderung rendah.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Kandun, N., Samaan, G., Santoso, H., Kushadiwijaya, H., Juwita, R., Mohadir, A., Aditama, T. (2010). Strengthening Indonesia's Field Epidemiology Training Programme to address International Health Regulations requirements. Bull World Health Organ. Vol:88, p:211–215.

2.   Malison, M., Dayrit, M., Limpakarnjanarat, K. (1989). The field epidemiology training  programmes. International Journal of Epidemiology. Vol:18, p:995–996.

3.   Matovu, JK., Serwadda, D., Wanyenze, RK., Mawemuko, S., Okui, O., Bazeyo, W. (2013). Strengthening health workforce capacity through work-based training. BMC International Health and Human Rights. Vol:13, p:8.

4.      Mukanga, D., Namusisi, O., Gitta, SN., Pariyo, G., Tshimanga, M., Trostle, M., Weaver, A. (2010). Field Epidemiology Training Programmes in Africa - Where are the Graduates?. Human Resources for Health.Vol:8, p:18.

5.   Subramanian, RE., Herrera, DG., Kelly, PM. (2013). An evaluation of the global network of field epidemiology and laboratory training programmes: a resource for improving public health capacity and increasing the number of public health professionals worldwide. Human Resources for Health. Vol:11, p:45.

6.      WHO.(2012). Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: Data by WHO region. http://apps.who.int/gho/data/node.main.619?lang=en


Nama         : Ajeng Choirin
NIM           :13/357327/PKU/14094


REFERENSI ASSOCIATION BETWEEN HEALTH WORKER MOTIVATION AND HEALTHCARE QUALITY EFFORTS IN GHANA

Nama   : Yul Asriati

NIM    :13/356700/PKU/14013



Bennett, S., & Gzirishvili, D. (2000). Health worker motivation in Georgia: Contextual analysis. Major Applied Research 5, Working Paper No. 5. Bethesda MD: Partnerships for Health Reform, Abt Associates Inc.

Bennett, S., Gzirishvili, D., & Kanfer, R. (2000a). Determinants of health worker motivation in Tblisi, Georgia: A 360 degree assessment in two hospitals. Major Applied Research 5, Working Paper No. 6. Bethesda MD: Partnerships for Health Reform, Abt Associates Inc.

Bennett, S., Gzirishvili, D., & Kanfer, R. (2000b). An in-depth analysis of determinants and consequences of worker motivation in two hospitals in Tblisi, Georgia. Major Applied Research 5, Working Paper No. 9. Bethesda MD: Partnerships for Health Reform, Abt Associates Inc. Dieleman M, Viet Cuong P, Vu Anh L, Martineau T. 2003. Identifying factors for job motivation of rural health workers in North Viet Nam. Human Resources for Health.  1:10. 5 November 2003

Franco, L., Kanfer, R., Milburn, L., Qarrain, R., & Stub blebine, P. (2000a). Determinants of health worker motivation in Jordan: A 360 degree assessment in two hospitals. Major Applied Research 5, Working PaperNo. 7. Bethesda MD: Partnerships for Health Reform,Abt Associates Inc.

Franco, L., Bennett, S., & Kanfer, R. (2002). Health sector reform and public sector health worker motivation: A conceptual framework. Social Science & Medicine, 54(8), 1255–1266.

Franco, Lynne Miller., Bennett, Sara., Kanfer, Ruth., Stubblebine, Patrick. 2004. Determinants and consequences of health worker motivation in hospitals in Jordan and Georgia. Social Science & Medicine no 58 343-355. Pegamo. USA

Gilson, L. (2000). The dynamics of policy change: lessons from health financing reform in South Africa and Zambia. Major Applied Research 1 Technical Paper No. 3. Bethesda MD: Partnerships for Health Reform Project, Abt Associates,Inc.

Gilson, L., Alilio,M., & Heggenhougen, K. (1994). Community satisfaction with primary health care services: An evaluation undertaken in the Morogoro region of Tanzania. Social Science & Medicine, 39, 767–780.

Gross, Tal., Tobacman, Jeremy. Dangerous Liquidity and the Demand for Health Care Evidence from the 2008 Stimulus Payments. THE JOURNAL OF HUMAN RESOURCES  • 49  • 2

Hornby, P., & Sidney, E. (1988). Motivation and health service performance. WHO/EDUC/88-196. Geneva: World Health Organization.

Hackman, J. R., & Oldham, G. R. (1980). Work redesign. Reading, MA: Addison-Wesley.

Kanfer, R. (1990). Motivation theory and industrial/organizational psychology. In M. D. Dunnette, & L. Hough (Eds.), Handbook of industrial and organizational psychology. Volume 1: Theory in industrial and organizational psychology (pp. 75–110). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.

Kanfer, R. (1999). Measuring motivation. Major Applied  Research 5, Working Paper 1. Bethesda MD: Partnershipsfor Health Reform, Abt Associates Inc.

Kanfer, R., & Ackermann, P. L. (2000). Individual difference in work motivation: Further exploration of a trai framework. Applied Psychology: An International Review 49, 470–482.

Lori JR, Rominski SD, Gyakobo M, Muriu EW, Kweku NE, Agyei-Baffour P. 2012. Perceived barriers and motivating factors influencing student midwives acceptance of rural postings in Ghana. Human Resour Health,

Martinez, J., & Martineau, T. (1998). Rethinking human resource: An agenda for the millennium. Health Policy and Planning, 13(4), 345–358.

Mitchell, T. R. (1997). Matching motivational strategies with organizational contexts. In L. L. Cummings, & B. M. Shaw (Eds.), Research in organizational behavior, Vol. 19. (pp. 57–149). Greenwich, CT: JAI Press

Ndiwane, A. (1999). Factors that influence job satisfaction of nurses in urban and rural community health centers in Cameroon: Implications for policy. Clinical Excellence forNurse Practitioners, 3, 172–180.

Pannurunothai, S., Boonpadung, D., a Kittidilokkul, S. (1997). Paying Health Personnel in the government sector by Fee-For-Service: a Challenge To Productivity And Quality,And a Moral Hazard. Journal, Health Manpower Development 1, 127–134.

Pinder, C. C. (1998). Work motivation in organizational behavior. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.

Podsakoff, P. M., Ahearne, M., & MacKenzie, S. B. (1997). Organizational citizenship behavior and the quantity and quality of work group performance. Journal of Applied Psychology, 82(2), 262–270.

Shattuck-Willis M, Bidwell P, Thomas S: Motivasi and retention of health workers in developing countries: a systematic review. BMC Health Services Research

Van Lerberghe, W., Concei, c* ao, C., Van Damme, W., & Ferrinho, P. (2002). When staff is underpaid: Dealing with the individual coping strategies of health personnel. Bulletin of the World Health Organization, 80(7), 581–584.

Warr, P. B., Cook, J., & Wall, T. D. (1979). Scales for themeasurement of some work attitudes and aspects ofpsychological well-being. Journal of Occupational Psychology, 52, 129–148.

Willis-Shattuck M, Bidwell P, Thomas S, Wyness L, Blaauw D, Ditlopo P. (2008). Motivation and retention of health workers in developing countries: a systematic review. BMC Health Serv Res, 8:247.