Sunday, April 27, 2014

TUGAS PAPER : PROGRAM FIELD EPIDEMIOLOGY TRAINING PROGRAMMES (FETPs) DI NEGARA BERKEMBANG : MENGAPA BELUM EFEKTIF DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS TENAGA SURVEILANS ?

A.  Latar Belakang
Program Field Epidemiology Training Programmes (FETPs) atau Epidemiologi Lapangan sudah dilaksanakan di 57 negara di seluruh dunia. Program ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tenaga surveilans dan  difokuskan terutama di negara berkembang. Peningkatkan kapasitas tenaga surveilans tersebut diharapkan akan berdampak pada penurunan angka kejadian penyakit menular di negara berkembang. Program ini didanai oleh Kementerian Kesehatan setempat, lembaga nasional maupun internasional, dan Non Govermental Organization (NGO) (Kandun dkk, 2010).
Setiap tahunnya pemerintah maupun lembaga donor mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk penyelenggaraan program FETPs. Namun yang terjadi dilapangan, angka kejadian penyakit menular masih tinggi terutama di negara berkembang. Penyakit menular tersebut antara lain HIV/AIDS, malaria dan tuberculosis (TB) (Pattel dan Phillips, 2009). Menurut data dari WHO (2012), di negara-negara Asia Tenggara contohnya, angka prevalensi penyakit HIV/AIDS sebesar 0,3%, angka kejadian penyakit malaria yang dilaporkan sebesar 2.149.205 dan angka prevalensi penyakit TB sebesar 278/ 100.000 populasi. Hal ini menjadi suatu tantangan besar untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya agar dana yang dikeluarkan untuk program FETPs tersebut tidak sia-sia. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa sistem pembelajaran pada program FETPs yang diterapkan di negara berkembang tersebut belum efektif dalam meningkatkan kapasitas tenaga surveilans. Program tersebut masih bersifat University-based yang berbasis pendidikan formal di universitas. Hal inilah yang kemudian diduga menyebabkan lemahnya kapasitas dari tenaga surveilans dalam kegiatan surveilans penyakit menular dan sistem respon (Matovu dkk, 2013). University-based tidak disesuaikan dengan masalah yang ditemukan di lapangan dan lebih kepada aturan yang diterapkan global di seluruh dunia. Menurut Patel dan Phillips (2009) sistem pembelajaran program FETPs yang cocok digunakan di negara- negara berkembang adalah field-based training yang berbasis kondisi nyata di lapangan/ tempat bekerja.
B.     Perbedaan Sistem Pembelajaran University-Based dengan Sistem Pembelajaran Field-based Training.
Sistem pembelajaran university-based berbeda dengan sistem pembelajaran field-based training. Sistem pembelajaran university-based memiliki banyak kelemahan jika dibandingkan dengan field-based training. Perbedaan tersebut antara lain dilihat dari berbagai macam aspek, antara lain:
1.      Model pembelajaran
Program FETPs sudah dilaksanakan di banyak negara berkembang dengan berbasis pendidikan formal di universitas (University-based) dan ditempuh selama 2 tahun dengan gelar Master of Public Health (MPH) (Subramanian, Herrera dan Kelly, 2013). Sistem pembelajaran lebih banyak dilakukan di kelas. Adapun kelemahan dari sistem pembelajaran ini adalah : Teori yang diberikan terlalu banyak, sehingga menyebabkan kebosanan dari peserta dan waktu yang digunakan di lapangan menjadi berkurang, cenderung menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat yang umum dan bukan dikhususkan pada penyakit menular yang menjadi fokus utama di negara berkembang. Berbeda dengan university-based, pada sistem pembelajaran field-based training, teori hanya diberikan selama 3 bulan dengan cara tatap muka di kelas dan selebihnya peserta kembali ke tempat kerja/ lapangan.  Peserta lebih banyak bersentuhan dengan dunia nyata di lapangan dengan pendekatan learning by doing dan problem solving. Pendekatan tersebut melatih peserta untuk menyelesaikan suatu masalah yang ditemukan dilapangan. Sistem pembelajaran ini lebih cenderung berbasis kejuruan daripada pendidikan professional dan lebih dikhususkan kepada pemberantasan penyakit menular. Inilah yang menjadi kelebihan field-based training (Pattel & Phillips, 2009)
2.      Kurikulum
Kurikulum pada sistem pembelajaran university-based sering terhambat oleh standar fakultas dan banyak intervensi dari negara-negara lain yang tidak sesuai dengan konteks di negara berkembang. Sebaliknya pada field-based training, kurikulum selalu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan selalu direvisi dengan melibatkan mentor dari daerah dan  organisasi profesi yang langsung terjun ke lapangan (Mukanga, 2010).
3.      Pengajar/ Mentor
Di negara berkembang banyak ditemukan masalah di bidang Sumber Daya Manusia (SDM). Pada sistem pembelajaran university-based, keterbatasan SDM yang memahami tentang kondisi nyata di lapangan dilakukan dengan merekrut pengajar dari negara lain. Hal ini akan menyebabkan hambatan bagi peserta karena selain pengajar luar tidak memahami konteks di negara tersebut juga seringkali mereka menggunakan bahasa asing yang tidak mudah dipahami oleh peserta (Pattel dan Phillips 2009).
Menurut Matovu dkk (2013) sistem pembelajaran field-based training lebih banyak melibatkan supervisor dari lapangan/ tempat kerja peserta, sehingga mereka tidak hanya berfungsi sebagai role model, tetapi juga dapat memberikan saran, umpan balik dan dukungan yang menyeluruh kepada para peserta selama proses berlangsung. Hal ini akan memperkecil hambatan-hambatan yang akan diterima oleh peserta.
4.      Biaya
Biaya yang dikeluarkan cenderung besar pada sistem pembelajaran university-based, karena selama pembelajaran di kelas , peserta tidak mendapat gaji di tempat kerja, sehingga pemerintah masih mengeluarkan biaya untuk membayar peserta. Sedangkan pada sistem pembelajaran  field-based training, biaya yang dikeluarkan pemerintah cenderung rendah karena selama di tempat kerja mereka sudah mendapatakan gaji. Hal ini dapat menghemat biaya pengeluaran Negara (Pattel dan Phillips 2009).
5.      Koordinasi dan Responsiveness
Proses pembelajaran yang dilakukan di kelas terlalu banyak pada sistem pembelajaran university-based, hal ini menyebabkan  kesulitan untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah apabila terjadi suatu wabah dan cenderung tidak responsif hanya kearah pendokumentasian semata. Sedangkan pada sistem pembelajaran field-based training, koordinasi dengan daerah lebih mudah dan responsif dalam penanganan suatu wabah, karena dari awal hingga akhir pelatihan, peserta lebih banyak terjun ke lapangan (Pattel dan Phillips 2009)
6.      Brain drain/ Migrasi Lulusan ke Luar Negeri
Pada university-based, migrasi lulusan ke luar negeri cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena dari awal peserta kurang berkontak dengan lapangan dan tidak adanya pengawasan serta dukungan yang kuat dari tim supervisor daerah. Berbeda dengan field-based training dimana tingkat migrasi lulusan ke luar negeri cenderung rendah, karena peserta sudah sangat memahami kondisi awal di lapangan dan didukung kuat oleh tim supervisor daerah (Matovu dkk, 2013).
C.     Kesimpulan
Field-based training lebih efektif dan efisien apabila diterapkan di negara berkembang dalam upaya peningkatan kapasitas tenaga surveilans. Hal ini diharapkan dapat berdampak pada peningkatan sistem surveilans dan sistem respon. Kelebihan dari sistem pembelajaran field-based training adalah :
1.      Model pembelajaran yang berbasis kondisi nyata di lapangan/ tempat kerja, menggunakan pendekatan learning by doing dan problem solving.
2.      Kurikulum pada sistem pembelajaran ini selalu berubah dan beradaptasi disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan tidak terhambat oleh aturan di universitas.
3.      Pengajar berasal dari SDM yang berada di lapangan yang dapat dijadikan sebagai role model, dapat memberikan saran, umpan balik kepada peserta selama proses pembelajaran berlangsung.
4.      Peserta lebih banyak di tempat kerja dan mendapatkan gaji, hal ini dapat menghemat pengeluaran biaya pemerintah.
5.      Koordinasi dengan daerah lebih mudah dan peserta lebih responsif dalam menangani wabah penyakit.
6.      Tingkat migrasi lulusan ke luar negeri cenderung rendah.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Kandun, N., Samaan, G., Santoso, H., Kushadiwijaya, H., Juwita, R., Mohadir, A., Aditama, T. (2010). Strengthening Indonesia's Field Epidemiology Training Programme to address International Health Regulations requirements. Bull World Health Organ. Vol:88, p:211–215.

2.   Malison, M., Dayrit, M., Limpakarnjanarat, K. (1989). The field epidemiology training  programmes. International Journal of Epidemiology. Vol:18, p:995–996.

3.   Matovu, JK., Serwadda, D., Wanyenze, RK., Mawemuko, S., Okui, O., Bazeyo, W. (2013). Strengthening health workforce capacity through work-based training. BMC International Health and Human Rights. Vol:13, p:8.

4.      Mukanga, D., Namusisi, O., Gitta, SN., Pariyo, G., Tshimanga, M., Trostle, M., Weaver, A. (2010). Field Epidemiology Training Programmes in Africa - Where are the Graduates?. Human Resources for Health.Vol:8, p:18.

5.   Subramanian, RE., Herrera, DG., Kelly, PM. (2013). An evaluation of the global network of field epidemiology and laboratory training programmes: a resource for improving public health capacity and increasing the number of public health professionals worldwide. Human Resources for Health. Vol:11, p:45.

6.      WHO.(2012). Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: Data by WHO region. http://apps.who.int/gho/data/node.main.619?lang=en


Nama         : Ajeng Choirin
NIM           :13/357327/PKU/14094


No comments: