Sunday, April 27, 2014

Tugas paper artikel


PLACEMENT, SUPPORT, AND RETENTION OF HEALTH PROFESSIONALS: NATIONAL, CROSS-SECTIONAL FINDINGS FROM MEDICAL AND DENTAL COMMUNITY SERVICE OFFICERS IN SOUTH AFRICA
            Telah banyak penelitian tentang distribusi tenaga kesehatan di negara – negara berkembang, terjadinya kesenjangan jumlah tenaga kesehatan di desa dan di kota serta alasan – alasan penyebab terjadinya kesenjangan tersebut. Di sebagian besar negara berkembang, tenaga kesehatan berkumpul di kota – kota besar, sedangkan di pedesaan jumlahnya sangat kurang. Kesenjangan itu tidak hanya meliputi total jumlah dan distribusi geografis tetapi juga terjadinya tugas rangkap (multitasking) pada tenaga kesehatan yang ada. Menurut salah satu penelitian di Afrika Selatan, krisis tenaga kesehatan global dapat diatasi dengan adanya tanggung jawab yang menyeluruh, kebijakan yang tepat, komitmen anggaran dan kerjasama yang baik antara sector pemerintah dan sector swasta (Anyangwe & Mtonga, 2007).
            Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang tak luput dari masalah serupa. Kondisi geografis berupa negara kepulauan menjadi salah satu penyebab sulitnya masyarakat mengakses pelayanan kesehatan. Ketiadaan pelayanan kesehatan di wilayah DTPK (Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan), atau tersedia akan tetapi masyarakat tidak mampu mencapainya; kurangnya akses pelayanan kesehatan juga disebabkan alasan organisatorial contoh terbatasnya jam kerja petugas kesehatan, pelayanan kurang ramah, adanya batasan budaya dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan, Indonesia memiliki wilayah yang luas dan medan yang sulit, ini menjadi kendala utama dalam memberikan pelayanan kesehatan dan distribusi tenaga kesehatan yang seimbang. Dokter dan perawat enggan ditempatkan di pulau – pulau terpencil dan lokasi perhutanan dimana sarana komunikasinya buruk, dan fasilitas untuk professional kesehatan dan keluarganya sangat terbatas (Dussault & Franceschini, 2006).
            Upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan tenaga kesehatan di Indonesia terus mengalami perubahan. Dalam hal penempatan, tercatat paling tidak tiga periode perkembangan kebijakan. Pada periode tahun 1974 – 1992 ada program inpres dimana tenaga kesehatan diangkat menjadi PNS dengan golongan IIIA untuk tenaga medis. Masa bakti PNS Inpres adalah 5 tahun di Pulau Jawa dan 3 tahun di luar Pulau Jawa. Selama periode itu berhasil diangkat 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi serta hampir semua puskesmas terisi tenaga dokter. Pada periode tahun 1992 – 2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel, dengan demikian hampir tidak ada pengangkatan tenaga medis baru. Untuk memenuhi kekurangan tenaga, sebagai gantinya diadakan program Pegawai Tidak Tetap (PTT) berdasarkan Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999 di perbarui dengan Kepmenkes RI No. 1540/menkes/SK/XII/2002. Masa bakti PTT antara 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu :
1.      Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama
2.      Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3.      Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4.      Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS
5.      Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas
6.      Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai berikut:
1.      Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela
2.      Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu
3.      Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4.      Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
5.      Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6.      Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi
7.      Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar,Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain. Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter yang langsung diterima pendidikan spesialis. Disamping itu ada kebijakan pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis di daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD, hal ini cukup menarik minat untuk bertugas di daerah tersebut.
Dalam Kepmenkes RI No. 1540/menkes/SK/XII/2002 disebutkan bahwa PTT adalah pegawai yang diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis professional dan administrasi pada sarana pelayanan kesehatan dan tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri. PTT dapat ditempatkan di puskesmas, RSUD kabupaten/kota, RSUD provinsi, RS khusus, RS tertentu sebagai tenaga medis Brigade Siaga Bencana dan sarana kesehatan lainnya. PTT dapat diangkat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Meskipun program PTT mampu meningkatkan jumlah rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk di Indonesia, akan tetapi program ini gagal dalam memenuhi pemerataan distribusi tenaga kesehatan. Di beberapa kabupaten wilayah Indonesia Timur masih ada puskesmas yang belum memiliki dokter. Kabupaten pemekaran bahkan ada yang belum memiliki RS, meskipun telah mengajukan permohonan ke tingkat provinsi. Hal ini disebabkan karena sistem perekrutan dan penempatan PTT di wilayah terpencil, masih dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat menerima data kebutuhan tenaga kesehatan PTT dari daerah, membuka pengumuman perekrutan, menerima dan menyeleksi lamaran hingga melakukan pemberangkatan tenaga kesehatan. Disisi lain pemerintah pusat tidak melakukan monitoring dan supervisi tenaga PTT di daerah, akibatnya data pasti jumlah dan penempatan tenaga PTT tidak ada.
Kegagalan berikutnya disebabkan karena perlakuan antara tenaga PTT dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berbeda. Adanya kesenjangan antara PTT dan PNS dari segi kepastian jenjang karir, kesempatan untuk menempati posisi strategis diinstitusi pelayanan kesehatan, pemberian tunjangan, fasilitas dan sarana prasarana, menyebabkan PTT merasa sebagai pegawai kelas dua sehingga menurunkan loyalitas dan komitmen pada tugasnya menurun. Kurangnya pembekalan bagi tenaga PTT dari pemerintah daerah, menyebabkan menurunnya rasa aman yang dibutuhkan tenaga tersebut pada saat bertugas. Hal ini diperparah dengan materi pendidikan tenaga kesehatan yang belum memasukkan materi tentang situasi dan kondisi di wilayah terpencil, sehingga dibutuhkan kreativitas tenaga kesehatan untuk mampu bertahan di tempatnya bertugas.
Agar lebih efektif dan efisien, diperlukan beberapa perubahan dalam pelaksanaan program PTT di Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
·         Proses rekrutmen dan pengangkatan PTT sebaiknya dilakukan langsung oleh pemerintah daerah sehingga pemenuhan kebutuhan tenaga dapat cepat diatasi. Pemerintah pusat menyediakan anggaran bagi wilayah yang kurang mampu, melakukan monitoring dan evaluasi kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan tenaga PTT.
·         Dari sisi insentif, PTT lebih menghemat anggaran negara jika dibandingkan dengan pengangkatan PNS karena pemberian insentif untuk PTT bersifat sementara. Akan tetapi dibutuhkan jumlah dana yang cukup besar untuk menarik minat tenaga kesehatan agar bersedia untuk tinggal di wilayah terpencil dan pedesaan. Perlu diperhatikan bahwa faktor tenaga kesehatan bersedia untuk tinggal tidak selamanya bersifat materiil.
·         Pemerintah daerah membuat kebijakan yang bersifat lebih terbuka dan fleksibel untuk mengelola tenaga PTT. Diantaranya dibutuhkan supervisi dan penghargaan yang memadai untuk meningkatkan pengabdian tenaga PTT pada masyarakat, memberikan rasa aman, penyediaan akomodasi, transportasi bagi tenaga PTT baru, pemberian beasiswa untuk melanjutkan pendidikan dan sebagainya.


Daftar pustaka
1.      Hatcher, A. et al., 2014. Placement, support and retention of health professionals : national, cross-sectional findings from medical and dental community service officers in South Africa. Human resources for health, 12, p.14.
2.      Dussault, G. & Franceschini, M.C., 2006. Not enough there, too many here: understanding geographical imbalances in the distribution of the health workforce. Human resources for health, 4, p.12.
3.      Dieleman, M., Gerretsen, B. & van der Wilt, G.J., 2009. Human resource management interventions to improve health workers' performance in low and middle income countries: a realist review. Health research policy and systems / BioMed Central, 7, p.7. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2672945&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed March 26, 2014].
4.      Dussault, G. & Dubois, C.-A., 2003. Human resources for health policies: a critical component in health policies. Human resources for health, 1, p.1.
5.      Dieleman, M., Gerretsen, B. & van der Wilt, G.J., 2009. Human resource management interventions to improve health workers' performance in low and middle income countries: a realist review. Health research policy and systems / BioMed Central, 7, p.7. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2672945&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed March 26, 2014].
6.      Kepmenkes RI No. 1540/Menkes/SK/XII/2002 tentang penempatan tenaga medis melalui masa bakti dan cara lain.

Indah Karyani
NIM. 13/357535/PKU/14122

No comments: