Riadi Ardian Yuswanto13/357408/PKU/14106
Service excellent kepada pelangan dalan penyedia layanan kesehatan di Indonesia adalah pekerjaan rumah kita bersama. Banyaknya permasalahan serta kasus buruknya pelayanan kesehatan dari provider milik pemerintah masih belum terselaikan. Peraturan Presiden nimer 72 tahun 2012 menjadi cikal bakal terbentuknya BPJS sebagai salah satu trobosan baru pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan tidak luput dari permasalahan output dari service yang diberikan. Seperti lingkaran setan permasalahan buruknya layanan kesehatan menjadi salah isu kenapa tingkat kesehatan di Indonesia masih jauh dari harapan.
Buruknya layanan kesehatan ditinjau dari Sumber Daya Manusia dapat dikaji dari hal yaitu kualitas, kuantitas serta distribusi tenaga. Menurut Tanahasi untuk mengurangi gap tenaga kesehatan dalam pencapaian Universal Health Coverage dibagi menjadi empat tahapan yaitu Available HRH, Equitably distributed HRH, Quality HRH, dan Performing HRH. Empat tahapan tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainya sehingga untuk mencapai service excellent dengan tujuan capaian target Universal Health Coverage perlu dimulai dari dasar yaitu available HRH dan seterusnya.
Melihat kondisi di Indonesia permasalahan ketersedian tenaga masih terjadi, kesenjangan jumlah tenaga antara daerah Jawa dengan daerah timur Indonesia sangat significant. Jumlah tenaga kesehatan yang dikeluarkan institusi pendidikan belum terserap secara merata di seluruh Indonesia. Namun dengan kurangnya tenaga kesehatan ini tidak boleh mengurnagi kinerja provider dalam memberikan layanan yang terbaik untuk masyarakat.
Profesionalisme kerja menjadi tuntutan dari pemerintah kepada seluruh setiap jajaran tenaga kesehatan dalam pelaksanakan tugas sehari-hari. Profesionalisme sendiri adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang membutuhkan pelatihan yang mendalam baik di bidang seni atau ilmu pengetahuan dan biasanya lebih mengutamakan kemampuan mental daripada kemampuan fisik, seperti mengajar, ilmu mesin, penulisan, dll). Dari kata profesional tersebut melahirkan arti profesional quality, status, etc yang secara komprehensif memilki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh orang orang yang memilki kemampuan tertentu (Pamudji,1985).
Salah satu wujud profesionalisme PNS adalah dengan munculnya jenjang jabatan fungsional sebagai tolak ukur standar tenaga dan insentif yang didapat. Pegawai dengan jabatan fungsional yang disandang menunjukkan profesionalisme kerja dan tupoksi yang specific. Dalam hal ini didukung dengan aturan BKN bahwa pekerjaan PNS harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan dan syarat pendidikan tertentu.
Profesionalisme yang diatur dalam kebijakan tersebut membatasi ruang gerak pegawai arena dibatasi dengan tupoksi yang spesifik dan tidak melenceng dari basic pendidikan dan skill pegawai, metode ini cocok dilakukan di wilayanh dimana tenaga sudah terkucupi dimana dalam tahap yang dikemukan Tanahashi pada tahap performing HRH. Kualitas layanan yang didasarkan pada skill dan performa optimal serta professional.
Namun berbeda jika ditinjau di daerah timur Indonesia yang masih kekurangan tenaga, profesionalisme pegawai tidak relevan lagi. Sebagai contoh tenaga kesehatan di suatu desa terpencil hanya ada satu yang berprofesi bidan, jika muncul masalah munculnya endemic demam berdarah sedangankan dokter tidak ada maka jika ditinjau dari profesionalitas bidan, bidan tidak bisa menggantikan dokter dalam menangani masalah pengobatan serta pemeriksaan pasien demam berdarah. Namun ditinjau dari segi kemanusian bidan pun harus ambil bagian dalam penanganan msalah kesehatan tersebut.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Negara-negara berkembang salah satunya adalah penelitian yang berjudul Health "workforce skill mix and task shifting in low income countries: a review of recent evidence" yang dilakukan oleh Futon dkk, Task shifting atau pencampuran kerja perlu dilakukan untuk memberikan layanan kesehatan. Penggabungan skill tenaga kesehatan memberikan dampak significant dalam pemberian layanan kesehatan.
Dimana perbedaan indicator task shifting dan profesionalisme dapat dilihat dari tabel dibawah ini
Dari berbandingan diatas perlu dikaji ulang kebijakan pemerintah Indonesia dalam memprioritaskan profesionalisme kerja dalam kebijakan SDM Kesehatan yang diberlakukan di daerah-daerah yang masih minim tenaga.
1. Tanahashi T. Health service coverage and its evaluation. Bull World Health Organ. 1978;56(2):295-303.
2. Pamudji, 1985, Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta
3. Fulton, B. D., Scheffler, R. M., Sparkes, S. P., Auh, E. Y., Vujicic, M., & Soucat, A. (2011). Health workforce skill mix and task shifting in low income countries: a review of recent evidence. Human Resources for Health, 9(1), 1. doi:10.1186/1478-4491-9-1
No comments:
Post a Comment