Friday, April 25, 2014

Strengthening field-based training in low and middle-income countries to build public health capacity: Lessons from Australia's Master of Applied Epidemiology program

Latar Belakang Penelitian :
Menurut Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation), negara-negara perlu memperkuat kapasitas untuk kegiatan surveilans penyakit dan sistem respon melalui penguatan tenaga kesehatan. Salah satunya melalui program pelatihan Epidemiologi Lapangan / Field Epidemiology Training Programmes (FETPs). Banyak negara yang membangun atau meningkatkan program tersebut untuk memenuhi  peningkatan kapasitas tenaga kesehatan yang akan berdampak pada peningkatan kapasitas kesehatan masyarakat dibidang surveilans. Tetapi yang terjadi dilapangan, masih dijumpai angka kejadian penyakit menular masih tinggi terutama di negara-negara berkembang. Hal ini menjadi suatu tantangan besar untuk diketahui masalah apa yang sebenarnya terjadi dibalik fenomena ini. Program FETPs sudah dilaksanakan di banyak Negara di dunia dengan menerapkan model Public Health Schools Without Walls  yang lebih berbasis pendidikan formal di universitas (University-based) dan ditempuh selama 2 tahun dengan gelar Master of Public Health (MPH). Hal inilah yang mungkin menyebabkan pembelajaran  tidak efektif karena tidak disesuaikan dengan masalah yang ditemukan di lapangan dan lebih kepada aturan yang diterapkan global di seluruh dunia. Oleh karena itu peneliti ingin membuktikan bahwa pelatihan berbasis pendidikan formal di universitas (University-based) sangat tidak efektif apabila diterapkan di negara-negara berkembang dan ingin membuktikan bahwa field-based training dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan peningkatan kualitas dan kapasitas tenaga kesehatan di Negara berkembang.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini :
Teori yang mendasari penelitian ini:
1.      Teori Pelatihan :
a) Kirkpatrick (1994) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya meningkatkan pengetahuan, mengubah perilaku dan mengembangkan keterampilan.
b)  Strauss dan Syaless di dalam Notoatmodjo (1998) mengatakan bahwa pelatihan berarti mengubah pola perilaku, karena dengan pelatihan maka akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar, berguna untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat dan metodenya mengutamakan praktek daripada teori.

2.      Teori Field-based Training
a)      Menurut Patel dan Phillips dalam Schultz (2009)
  Field-based Training menggambarkan pada model pendidikan kejuruan daripada pendidikan profesional. Model pelatihan ini berbasis kondisi di lapangan yang responsif terhadap kehidupan nyata , kebutuhan tempat kerja dan mendorong fleksibilitas antara peserta didik dan profesionalitas yang merupakan bagian dari tim kesehatan masyarakat di tempat kerja.
b)      Menurut Matovu , dkk (2013)
    Program pelatihan berbasis kerja di lapangan sangat efektif untuk meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia. Model pelatihan tersebut menekankan adanya kerjasama antara peserta pelatihan dengan pengajar dari universitas dan lembaga pengawas untuk menyelesaikan tugas tertentu. Pengajar diharapkan secara penuh dapat memberikan bimbingan kepada peserta. Peserta juga diberi kesempatan sesekali untuk melakukan tatap muka di kelas sebagai bagian interaktif dari program pelatihan.
Tabel Perbandingan University-based dan Field-based Training:
ASPEK
University Based (Berbasis Pendidikan Formal)
Field-based Training (Berbasis Lapangan/Tempat Kerja )
Model Pembelajaran
Teori yang diberikan di kelas terlalu banyak, sehingga menyebabkan kebosanan dari peserta dan waktu yang digunakan di lapangan menjadi berkurang. Sistem pembelajaran model ini juga cenderung menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat yang umum dan bukan dikhususkan pada penyakit menular yang menjadi fokus utama di negara berkembang.
Teori hanya diberikan selama 3 bulan dengan cara tatap muka di kelas, selebihnya peserta kembali ke tempat kerja/ lapangan.  Peserta lebih banyak bersentuhan dengan dunia nyata di lapangan dengan pendekatan learning by doing dan problem solving. Sistem pembelajaran lebih cenderung berbasis kejuruan daripada pendidikan professional dan lebih dikhususkan kepada pemberantasan penyakit menular.
Kurikulum
Kurikulum terhambat oleh standar fakultas dan terkadang masih banyak intervensi dari negara-negara lain yang tidak sesuai dengan konteks di negara tersebut.
Kurikulum selalu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kurikulum akan selalu direvisi dengan melibatkan mentor dari daerah dan  organisasi profesi yang langsung terjun ke lapangan.
Pengajar/mentor
Terbatasnya SDM yang memiliki pehamahan tentang keadaan nyata di lapangan. Karena keterbatasan SDM itulah, terkadang fakultas merekrut pengajar dari negara lain yang juga tidak memahami tentang kondisi sebenarnya/ konteks di negara tsb.
Pengajar melibatkan supervisor dari lapangan/ tempat kerja peserta, sehingga tidak hanya berfungsi sebagai role model, tetapi juga dapat memberikan saran, umpan balik dan dukungan yang menyeluruh kepada para peserta selama proses berlangsung.
Biaya
Biaya yang dikeluarkan cenderung besar karena selama pembelajaran di kelas , peserta tidak mendapat gaji di tempat kerja, sehingga pemerintah masih membayar.
Tidak ada biaya yang dibayarkan kepada peserta selama di tempat kerja, karena mereka sudah mendapatakan gaji. Hal ini dapat menghemat biaya pengeluaran negara.
Koordinasi dan Responsiveness
Karena pembelajaran di kelas terlalu banyak , sehingga apabila terjadi suatu wabah di daerah , peserta kesulitan untuk berkoordinasi dengan daerah dan cenderung tidak responsif (lebih kearah pendokumentasian)
Koordinasi dengan daerah lebih cepat dan Lebih responsif dalam menangani suatu penyakit, karena dari awal hingga akhir pelatihan lebih banyak terjun ke lapangan.
Brain drain (Migrasi lulusan ke luar negeri)
Tingginya angka migrasi lulusan ke luar negeri disebabkan tidak adanya pengawasan dan dukungan yang kuat dari tim supervisor daerah.
Tingkat migrasi lulusan ke luar negeri cenderung rendah, karena diawal peserta sudah didukung kuat oleh tim supervisor daerah .

H0 = Model pembelajaran yang berbasis pendidikan formal (university-based) pada program FETPs efektif untuk meningkatkan sistem survelans dan responsif di Negara berkembang
Ha = Model pembelajaran yang berbasis lapangan (field-based) pada program FETPs efektif untuk meningkatkan sistem survelans dan responsif di Negara berkembang


Nama          : Ajeng Choirin
NIM            :13/357327/PKU/14094


No comments: